Aqiqah berasal dari kata ‘Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa ia adalah rambut yang dibawa si
bayi ketika lahir. Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan.
[1]
Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah
sunnah muakkadah, dan ini adalah pendapat
Jumhur Ulama, berdasarkan anjuran
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan praktek langsung beliau
Shallallaahu alaihi wa Sallam. “Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus)darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataannya Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Perkataan beliau
Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.
Hikmah Aqiqah[2]
Aqiqah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana dilansir di sebuah situs memiliki beberapa hikmah diantaranya :
1. Menghidupkan sunnah Nabi
Muhammad Shallallahu alahi wa sallam dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim alaihissalam tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus putra
Ibrahim yang tercinta
Ismail alaihissalam.
2. Dalam aqiqah ini mengandung unsur perlindungan dari
syaitan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadits, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya.”
[3]. Sehingga Anak yang telah ditunaikan aqiqahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al Imam Ibunu Al Qayyim Al Jauziyah "bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh aqiqahnya".
3. Aqiqah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana
Imam Ahmad mengatakan: "Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya)".
4. Merupakan bentuk
taqarrub (pendekatan diri) kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lahirnya sang anak.
5. Aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari'at
Islam & bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat
Rasulullah SAW pada hari kiamat.
6. Aqiqah memperkuat
ukhuwah (persaudaraan) diantara
masyarakat.
Dan masih banyak lagi hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan Syariat Aqiqah ini.
Hewan Sembelihannya[4]
Hewan yang dibolehkan disembelih untuk aqiqah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk
kurban, dari sisi usia dan kriteria.
Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan
haji) dan
udhhiyah (
kurban), tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit.
Imam Asy-Syafi'iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.
Kadar Jumlah Hewan[5]
Kadar aqiqah yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas rahimahulloh: “Sesungguh-nya
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam mengaqiqahi
Hasan dan
Husain satu domba satu domba.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud)
Ini adalah kadar cukup dan boleh, namun yang lebih utama adalah mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor, ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
- Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata, yang artinya: “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan agar dsembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.” (Hadits sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
- Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, yang artinya: “Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor.” (Shahih riwayat At Tirmidzi)
Dan karena kebahagian dengan mendapatkan anak laki-laki adalah berlipat dari dilahirkannya anak perempuan, dan dikarenakan laki-laki adalah dua kali lipat wanita dalam banyak hal.
Waktu Pelaksanaannya[6]
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Pembagian daging Aqiqah[7]
Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi. Syaikh Utsaimin berkata: Dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan daging aqiqah yang sudah matang. Syaikh Jibrin berkata: Sunnahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya. Syaikh
Ibnu Bazz berkata: Dan engkau bebas memilih antara mensedekahkan seluruhnya atau sebagiannya dan memasaknya kemudian mengundang orang yang engkau lihat pantas diundang dari kalangan kerabat, tetangga, teman-teman seiman dan sebagian orang faqir untuk menyantapnya, dan hal serupa dikatakan oleh Ulama-ulama yang terhimpun di dalam Al lajnah Ad Daimah.
Sumber Rujukan
- Subulussalam (4/189, 4/190, 4/194)
- Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah (3/33-35, 3/39-40)
- Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy 600
- Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil Maulud, Ibnu Al Qayyim 46-47
- Al Muntaqaa 5/195-196
- Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318
- Fatawa Islamiyyah 2/324-327; Irwaul Ghalil (4/389, 4/405)
- Minhajul Muslim, Abu Bakar Al Jazairiy 437
Referensi